Minggu, 24 Agustus 2014




REPUBLIK FILOSOFI

Cerita: Bramastyo Dhieka Anugerah
Foto  : Bayu Aji Rajakaya 


      ANTARA dia dan dia berada di lingkaran kekuasaan. Di atas teater politik dimana sejarah dunia dimainkan dan membicarakan nasib manusia yang dimain-mainkan. Berburu informasi sana-sini, mendebat setan yang esok akan mati. Tapi apadaya jika minoritas mempecundangi mayoritas. Mungkin terlihat amat transparan jika yang sebenarnya tidaklah demikian. Aku datang bukan untuk memperkeruh situasi. Aku hanya ingin mendengar tentang uji kelayakanku hidup di dunia ini, meski aku sudah tahu akhirnya. Pastinya dari sudut pandang sepertiku hanyalah keanehan yang terngiang mendendang di sudut jauh dari oase.
                   
                                          https://www.youtube.com/watch?v=7WfnLM7MOMs
                                     
Aku melihat kebohongan di wajah terdakwa maupun yang didakwa. Dakwaan akan kesalahan masa lampau dan kini mengganjal masa depan. Hidup di dunia ini cukup dengan kaya dan bahagia, jauhi hal-hal yang mengusir kebahagiaan itu. Jangan pernah mengungkit kesedihan di masa lalu, apalagi sampai merisaukan masa depan. Tugas kau dan aku hanyalah berbuat yang belum pernah mereka perbuat. Tolong sampaikan salamku, bilang saja dari yang dijatuhi cinta.


Malang, 25 Agustus 2014

Jumat, 01 Agustus 2014


PEMBUKTIAN
Cerita: Bramastyo Dhieka Anugerah
Foto: @bungdeka
          
          Gundukan manusia beserta segala hal mengenai tata lampu, property, dan segerombolan aktor adalah hal yang belum mampu menarik perhatian. Betapa tidak, mereka hanyalah komponen-komponen murahan penenang barang loakan. Dan itu hanya teruntuk manusia yang melampaui batas. Jika ditilik lebih jauh, mungkin akan terkesan berharga bahkan bernilai. Tunggu sebentar, ini hanyalah soal sudut pandang. Bangsa ini pun sedang krisis mengenai rasionalitas sudut pandang. Dari sudut pandang manapun setiap orang merasa benar. Kemudian saling melempar pernak-pernik runyam yang memperkeruh suasana. Disini, ditempat seperti ini. Hanya ada kehebohan dan tepuk tangan. Tidak ada yang namanya lontaran "kata mutiara". Lambaian tangan dari pintu masuk seakan membereskan rasa gelisah, karena akan menampilkan gerak tertata beserta ornamen yang memanjakan telinga, hati dan sesekali mengundang tawa. 
        
         Belum cukup satu kali usaha ini dilalui, baru dua hari tulang ini merasakan duri menyelinap teramat pedih. Hanya karena gemuruh lambaian dan tepuk tangan mampu mengobati segala luka maupun duka. Disini, di tempat seperti ini, aku belajar mengenai sesuatu yang akan menghasilkan sesuatu. Belajar banyak hal bahwa kita terlahir bukan untuk menjadi orang kebanyakan. Jangan heran dengan apa yang bisa aku lakukan sekarang, serta jangan lupa bahwa sebelum kita bertemu, aku sudah punya masa lalu.


Lumajang, 1 Agustus 2014