Sabtu, 26 Juli 2014


SECANGKIR BULAN PADA MATAMU
Cerita: Bramastyo Dhieka Anugerah
Foto: @bungdeka

            Obrolan kusir yang melibatkan kau dan aku teramat sangat biasa saja. Disamping hanya obrolan ringan hingga membuat kita tertawa. Di tengah jalan, kadang kiri kadang juga ke kanan. Tak ayal aspal basah bisa-bisanya berisik mengusik kenyamanan dalam tempo lirih dan tidak juga terlampau lamban. Sudah lama lika-liku kehidupan tidak aku terapkan dalam medan jalan yang terlampau lurus dan juga terjal. Selama itu pula kata pembuka darimu menghiasi dinding pada gendang telingaku. Tawa nakal dariku membabi buta mendengarmu jera menyusuri ujung jalan curam menyapa di pelupuk mata. Sedih rasanya, saat kau dengan seenaknya melangkah meninggalkan aku menuju seseorang diseberang sana, dimana aku belum tahu itu siapa, dan tentu tak sudi aku mengenalnya. Tapi, untuk saat ini aku melunak. Masih peduli dengan hal tabu aku mengikhlaskan diri dengan menjaga jarak. Disitu, di lepas pasir putih tertutup laut biru, dibawah terik surya yang tidak lelah memicingkan mata ini. Memandangmu kian jauh, menatap senyum tipis menghiasi wajahmu. Saat itu aku menyadari ada sebuah teko menemukan peraduannya. Menuangkan sinar rembulan pada secangkir ruang yang belum basah. Dan saat itu juga aku bedalih, berharap semua hanya mimpi.

Malang 2013

BUKAN SOAL MATI
Cerita: Bramastyo Dhieka Anugerah
Foto: @bungdeka

Cobalah untuk mencampakkan segala rupa kesedihan, sedetik dua detik  mengingat tidak ada masalah. Tapi akan sangat menyiksa andai jalan hidup masih setia dengan penyesalan. Berapa banyak manusia hidup dan mati. Tapi agaknya hanya kabar kematian begitu akrab di telinga. Sudah sekian lama legenda itu terngiang dan mendekam dalam memori. Tidak ada lagi yang berani mengarungi lepas pantai ketika matahari terbenam. Menurut para nelayan sangatlah rawan jika melaut menjelang petang. Dari sekian banyak nelayan yang hilang masih belum juga diketemukan jasadnya. Konon jika matahari terbenam dan ada orang yang pulang dari laut itu dengan rasa sedih maka laut akan merespon dan memusnahkan rasa sedih sekaligus jasadnya.  Dua hari yang lalu ada seorang pemuda yang nekat pergi dengan perahu reotnya. Ia tidak pernah percaya soal isu-isu miring seputar terbenamnya matahari ditengah laut, pulang dengan kesedihan kemudian hilang. Ombak saat itu tanpa ampun mengobrak-abrik perahunya sampai nyaris terbalik. Hingga  laut kembali tenang, matahari terbenam, dan si pemuda menatap ketenangan laut dengan pandangan kosong. Tampaknya ia teringat jika pernah menghadapi sebuah problema, hanya menghadapi tapi tidak menyelesaikannya. Kesedihan mulai menghampiri namun langsung ditepisnya. Segera ia kembali ke darat untuk menyelesaikan masalahnya. Yang terpenting ia tidak konyol terbakar akibat ulah matahari terbenam.

Situbondo, 29 Februari 2014