SECANGKIR BULAN PADA MATAMU
Cerita: Bramastyo Dhieka Anugerah
Foto: @bungdeka
Obrolan kusir yang melibatkan kau dan
aku teramat sangat biasa saja. Disamping hanya obrolan ringan hingga membuat
kita tertawa. Di tengah jalan, kadang kiri kadang juga ke kanan. Tak ayal aspal
basah bisa-bisanya berisik mengusik kenyamanan dalam tempo lirih dan tidak juga
terlampau lamban. Sudah lama lika-liku kehidupan tidak aku terapkan dalam medan
jalan yang terlampau lurus dan juga terjal. Selama itu pula kata pembuka darimu
menghiasi dinding pada gendang telingaku. Tawa nakal dariku membabi buta
mendengarmu jera menyusuri ujung jalan curam menyapa di pelupuk mata. Sedih
rasanya, saat kau dengan seenaknya melangkah meninggalkan aku menuju seseorang
diseberang sana, dimana aku belum tahu itu siapa, dan tentu tak sudi aku
mengenalnya. Tapi, untuk saat ini aku melunak. Masih peduli dengan hal tabu aku
mengikhlaskan diri dengan menjaga jarak. Disitu, di lepas pasir putih tertutup
laut biru, dibawah terik surya yang tidak lelah memicingkan mata ini.
Memandangmu kian jauh, menatap senyum tipis menghiasi wajahmu. Saat itu aku
menyadari ada sebuah teko menemukan peraduannya. Menuangkan sinar rembulan pada
secangkir ruang yang belum basah. Dan saat itu juga aku bedalih, berharap semua
hanya mimpi.
Malang 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar