Selasa, 21 Februari 2012

AKU BUKAN LINTANG


AKU BUKAN LINTANG
Apes nian nasibku kini, setelah pak Guru menyuruhku untuk berdiri. Di sebuah ruang kelas yang teduh nan asri berlantaikan marmer dan kotoran tiada menempel sedikitpun. Dicelah-celah jendela yang terlihat mewah angin sepoi-sepoi bertiup tanpa henti menambah berseri suasana belajar mengajar dikelasku yang sunyi kini.
 Kriiiiiiiiing !!! bel berbunyi tanda waktu rehat kegiatan belajar mengajar, Dylan sahabatku mengajak untuk diskusi tentang ke SMP mana yang akan kami tuju setelah  lulus nanti.“Ayo kita bicara di tempat biasa soalnya di sini risih,‘‘ ajaknya. Akupun memenuhi ajakannya di tempat biasa kami berkumpul, yaitu taman sekolah berisikan bunga bermekaran dan tersedia bangku yang mengelilingi pancoran. Sesampainya disana dia mulai pembicaraan.
“Apa rencanamu setelah lulus nanti ?“ tanyanya.
“Sepertinya aku akan menunggu setelah nilai ujianku keluar, karena seperti yang kamu  tahu. Nilai raport terakhirku jauh dari kata memuaskan, dan aku takut tidak lulus ujian.”
“Tapi, menurutku kamu pinter. Lihat aja tuh nilai bahasa inggrismu cum laude.”
            “Tetep aja aku masih gelisah karena penentuannya di ujian nanti.“
            “Sudahlah jangan gelisah, percaya saja pada diri sendiri.”
            “Kalau kamu sendiri gimana lan ?“
            “Aku sih ya nurut orang tua, mereka memintaku untuk ke SMP INTERNASIONAL.“
            “Aku lihat kamu pede banget lan“
            “Apa yang kita pikirkan, itulah yang semesta berikan. Optimis aja.“
Kriiiiiiiiiing !!! bel masuk kelas berbunyi, seketika aku dan Dylan  meninggalkan taman yang elok itu untuk segera memasuki kelas, dan Guru mata pelajaran Matematika lagi-lagi memberikan peringatan kepada kami bahwa ujian sudah dekat.
            Dalam pandanganku ujian sangat membebaniku walaupun anggapan jika menghadapi ujian butuh sedikit keseriusan dan percaya diri tanpa melupakan campur tangan Sang Pencipta. Jika syarat sesimpel itu mengapa penentuan kelulusan hanya selama empat hari saja ?. Tetapi lembaga hanya pelaksana kebijakan pemerintah dan korban “kelinci percobaan“ ini adalah siswa.
            Saat itu juga hatiku mulai terguncang seakan-akan ketakutan itu datang lagi, namun tetap saja semua ketakutanku takkan merubah segalanya. Karena bertambah hari secara perlahan pun ujian itu tidak akan ada perubahan. Dorongan moral dari para Guru pengajar berusaha aku simpan dan aku rekatkan dengan paku di dalam memoriku, terbayang jelas perkataan-perkataan pengusir rasa takut itu.
            “Jadi semuanya saya harap belajar lebih giat,  dan yang terpenting yakinlah kalian bisa.”
“Yakinkan pada diri kalian, aku harus bisa, aku harus bisa, aku harus bisa dan jangan       sampai atau bahkan sesekalipun kalian bilang aku tidak bisa.“
            Selalu perkataan itu yang melekat dalam benakku, untuk menutupi ketakutanku, malam harinya aku berbaring di kamarku yang jauh dari kata tidak layak. Sebaliknya, semua orang pasti betah berlama-lama jika sudah terbuai dalam kesempurnaan di tempat peristirahatanku.
Satu buku aku buka  beberapa halaman, belum selesai aku baca. Aku membuka buku lagi. Tidak lama aku mengambil buku lain, hanya sesaat aku membaca dan nasib buku-buku yang lainpun hanya aku bolak-balik saja sampai ranjang bagai lautan buku berombak ilmu yang tak satu materipun aku ingat.
Bahkan alasanku sangat klasik, otakku blank. Aku bingung apa yang harus kulakukan, aku tidak paham mulai dari pelajaran apa yang harus aku pelajari terlebih dahulu. Semua buku yang aku buka, dan semua materi yang aku pelajari seakan-akan hanya hembusan angin yang tak mampu merobohkan tegaknya pohon bambu.
“Den......den........ waktunya makan malam den........,“ suara bibi memanggilku.
“Iya bi..... sebentar lagi saya menyusul ,“ aku membalas panggilannya.
Lagi-lagi aku harus berurusan dengan Rama (Romo dalam bahasa Jawa), panggilan seorang ayah yang mampu menjatuhkan semua amarahku jika berhadapan dengan beliau. Tubuh kekarnya bukan untuk membuat orang lain segan, tetapi untuk meringankan beban pembantu dirumahku jika dimintai tolong untuk mengangkat barang yang berat.
Karena keluargaku tidak memiliki pembantu laki-laki, dan hanya seorang bodyguard yang senantiasa mengawal Rama dan Bundaku kemanapun langkah mereka berpijak. Tajamnya penglihatan Rama semata-mata untuk mengawasi gerak-gerik karyawannya untuk mengantisipasi calon koruptor sedini mungkin di kesultanan Rama. Kumisnya seakan melengkapi wajahnya yang bersinar karena seringnya beliau mendekatkan diri kepada-Nya disaat orang lain tertidur lelap.
 Mulai berat kurasakan betapa tersiksanya untuk melangkah menuju ruang makan dan berhadapan dengan Rama serta Bunda. Tegakah aku jika aku memperlihatkan ketidaksiapanku menghadapi soal-soal yang menentukan nasibku kedepan. Tiada daya dan upaya selain meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.
“Bagaimana le sekolahmu. Ujianmu wes cedek iki”……. (gimana nak sekolahmu.  ujianmu sudah dekat ini)
“Lancar-lancar saja Ram, tadi disekolah tidak ada masalah. Lagipula pelajarannya hanya diskusi. Masalah ujian Insyaallah saya siap Ram.”
“Ya sudah le, kamu belajar saja yang rajin. Rama karo Bundamu mek iso ndunga’no. Ya kan Bun.” ( Rama sama Bunda hanya bisa mendo’akan)
“Iya le Bunda karo Rama mek iso ndunga’no karo ngetutno sampeyan. Kabeh keputusan onok neng tanganmu dewe le,“ Jawab Bunda. (Iya nak Bunda sama Rama hanya bisa mendo’akan sama menuruti kemauan kamu. Semua keputusan ada di tanganmu sendiri)
“Enjeh Bun, Saya pasti berusaha maksimal agar lulus ujian dan masuk SMP favorit. Ya sudah Bun, Rama. Ananda belajar dulu.” 
Sungguh masalah yang tidak mudah untuk selesai dengan segera, butuh kerja keras sebelum nantinya aku berjuang sendiri.
Aku merasa kali ini benar-benar sendiri, saat semua sibuk mempersiapkan ikrar di balik bilik impian mereka yang terkatung-katung supaya bisa melewati hadangan soal-soal ujian yang tergeletak di depan mata namun mematikan jika hanya dibiarkan tanpa sebuah tindakan dan pemikiran yang jarang semua siswa menjawabnya dengan asas palsu.
Terasa berat perjuanganku, namun aku percaya jika mereka akan dengan mudah melewati ranjau yang tiada orang tahu dimana letaknya tanpa strategi dan intimidasi terhadap soal-soal percobaan itu yang akan menentukan nasibku dan teman-temanku kelak.
Senandung puitis selalu menimbulkan statement jika yang kulakukan merupakan sebuah kekeliruan andaikan hanya monoton dan itu-itu saja. Jangan kalah oleh masalah, orang hebat tidak dilahirkan melaui kemudahan. Justru mereka dibentuk oleh derita dunia dan air mata, jika engkau merasa sendiri janganlah engkau pesimis. Tegakkan kepalamu dan lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Percayalah, jalanmu semakin dekat.
Maka terjadilah hal yang krusial, apa yang aku pelajari berbeda jauh dengan ujian kali ini. Aku benar-benar keluar jalur dan nyaris tak terarah, tiba-tiba sambaran tangan dari seorang guru mendarat di wajahku yang akhirnya membangunkanku dari mimpi buruk ini dan menyadarkanku bahwa aku masih dalam keistimewaan sebuah tempat tinggal..
Sungguh aku merasa shock, kali ini aku yang akan bersaksi atas perkataan Leonardo da Vinci: ‘’Chi non puo quel che voul, quel che puo voglia”- Siapa yang tak sanggup meraih apa yang dia inginkan, sebaiknya menginginkan apa yang dia sanggupi.
Aku jelas takkan sanggup menyamai anak Belitong, tapi aku sanggup untuk melewati ujian ini. Ini hanya sebuah percobaan, dan aku tidak akan mundur sedikitpun sampai akhirnya aku tersadar pada satu titik dimana detik ini aku berhadapan dengan Ujian Nasional yang akan menentukan kelayakanku lulus dari sekolah ini setelah menanam benih ilmu selama kurang lebih enam tahun lamanya.
Layaknya seekor bunglon yang menangkap mangsa dengan lidahnya, Ujian ini terasa seperti kegiatan belajar semula. Aku masih belum yakin jika aku sudah lepas tanggung jawab untuk belajar di sekolah ini.
Tetapi aku tidak akan keluar hanya dengan secarik kertas dengan bingkai dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan berisikan biodata pribadiku dan nilai ujian, yang nantinya memberikan pesan secara tidak langsung untuk melindunginya dengan laminating dan tidak jarang banyak tuduhan bahwa perdebatan secarik kertas itu karena pemalsuan.
Aku sudah petakan kemana langkahku, kuakui aku memang orang berada, dan aku mempunyai segalanya. Tapi itu semua milik orang tuaku, akan jadi apa aku nanti semua tersaji di angan, tangan dan langkahku yang akan melaksanakan  seluruh tujuan studiku menjejak SMP, berlanjut ke SMA sampai nantinya aku akan kuliah di Jerman dan kembali ke Bumi Pertiwi tanpa secuilpun campur tangan orang tuaku kecuali restu mereka.
Orang berada nan berdarah birupun memiliki cita-cita dan tahu diri bahwa mimpi itu harus ada di benak semua umat manusia, tetapi bermimpi bukan untuk melahirkan jutaan pemimpi. Melainkan untuk mencetak jutaan peraih mimpi, yang tidak hanya lahir dari pulau Bangka. Walaupun kebanggaanku tak terhingga kepada mereka. Tapi aku bukan mereka, aku bukan seorang Lintang, teman kecil seorang anak yang kini menjadi penulis. Penulis menceriterakan bahwa Lintang juga paling pintar di kelasnya sehingga mendorong penulis termotivasi menuntut ilmu hingga meninggalkan jejak di Perancis. Dan tiada seorangpun dengan mudah melupakannya.
Disini adalah aku, yang akan melanjutkan perjuangan pendahuluku. Mengisi kemerdekaan dengan pendidikan, bukannya aku tidak ingin memperdalam ilmu di Negeri sendiri. Tapi gelar sarjanaku sudah dipastikan produk asli dalam negeri, dan aku tidak akan tinggal diam jika kesempatan untuk  meraih gelar Master of Arts menuntutku diharuskan bertandang ke Jerman.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar