AKU
BUKAN LINTANG
Apes
nian nasibku kini, setelah pak Guru menyuruhku untuk berdiri. Di sebuah ruang
kelas yang teduh nan asri berlantaikan marmer dan kotoran tiada menempel
sedikitpun. Dicelah-celah jendela yang terlihat mewah angin sepoi-sepoi bertiup
tanpa henti menambah berseri suasana belajar mengajar dikelasku yang sunyi
kini.
Kriiiiiiiiing !!! bel berbunyi tanda waktu
rehat kegiatan belajar mengajar, Dylan sahabatku mengajak untuk diskusi tentang
ke SMP mana yang akan kami tuju setelah lulus nanti.“Ayo kita bicara di tempat biasa
soalnya di sini risih,‘‘ ajaknya. Akupun memenuhi ajakannya di tempat biasa
kami berkumpul, yaitu taman sekolah berisikan bunga bermekaran dan tersedia
bangku yang mengelilingi pancoran. Sesampainya disana dia mulai pembicaraan.
“Apa
rencanamu setelah lulus nanti ?“ tanyanya.
“Sepertinya
aku akan menunggu setelah nilai ujianku keluar, karena seperti yang kamu tahu. Nilai raport terakhirku jauh dari kata
memuaskan, dan aku takut tidak lulus ujian.”
“Tapi,
menurutku kamu pinter. Lihat aja tuh nilai bahasa inggrismu cum laude.”
“Tetep
aja aku masih gelisah karena penentuannya di ujian nanti.“
“Sudahlah jangan gelisah, percaya saja pada diri
sendiri.”
“Kalau
kamu sendiri gimana lan ?“
“Aku sih
ya nurut orang tua, mereka memintaku untuk ke SMP INTERNASIONAL.“
“Aku
lihat kamu pede banget lan“
“Apa
yang kita pikirkan, itulah yang semesta berikan. Optimis aja.“
Kriiiiiiiiiing !!! bel masuk kelas berbunyi, seketika aku
dan Dylan meninggalkan taman yang elok
itu untuk segera memasuki kelas, dan Guru mata pelajaran Matematika lagi-lagi
memberikan peringatan kepada kami bahwa ujian sudah dekat.
Dalam
pandanganku ujian sangat membebaniku walaupun anggapan jika menghadapi ujian
butuh sedikit keseriusan dan percaya diri tanpa melupakan campur tangan Sang
Pencipta. Jika syarat sesimpel itu mengapa penentuan kelulusan hanya selama
empat hari saja ?. Tetapi lembaga hanya pelaksana kebijakan pemerintah dan
korban “kelinci percobaan“ ini adalah siswa.
Saat itu
juga hatiku mulai terguncang seakan-akan ketakutan itu datang lagi, namun tetap
saja semua ketakutanku takkan merubah segalanya. Karena bertambah hari secara
perlahan pun ujian itu tidak akan ada perubahan. Dorongan moral dari para Guru
pengajar berusaha aku simpan dan aku rekatkan dengan paku di dalam memoriku,
terbayang jelas perkataan-perkataan pengusir rasa takut itu.
“Jadi
semuanya saya harap belajar lebih giat, dan
yang terpenting yakinlah kalian bisa.”
“Yakinkan pada diri kalian, aku harus bisa, aku harus
bisa, aku harus bisa dan jangan
sampai atau bahkan sesekalipun kalian bilang aku tidak bisa.“
Selalu
perkataan itu yang melekat dalam benakku, untuk menutupi ketakutanku, malam
harinya aku berbaring di kamarku yang jauh dari kata tidak layak. Sebaliknya,
semua orang pasti betah berlama-lama jika sudah terbuai dalam kesempurnaan di
tempat peristirahatanku.
Satu buku aku buka
beberapa halaman, belum selesai aku baca. Aku membuka buku lagi. Tidak
lama aku mengambil buku lain, hanya sesaat aku membaca dan nasib buku-buku yang
lainpun hanya aku bolak-balik saja sampai ranjang bagai lautan buku berombak
ilmu yang tak satu materipun aku ingat.
Bahkan alasanku sangat klasik, otakku blank. Aku bingung
apa yang harus kulakukan, aku tidak paham mulai dari pelajaran apa yang harus
aku pelajari terlebih dahulu. Semua buku yang aku buka, dan semua materi yang
aku pelajari seakan-akan hanya hembusan angin yang tak mampu merobohkan
tegaknya pohon bambu.
“Den......den........ waktunya makan malam den........,“
suara bibi memanggilku.
“Iya
bi..... sebentar lagi saya menyusul ,“ aku membalas panggilannya.
Lagi-lagi
aku harus berurusan dengan Rama (Romo dalam bahasa Jawa), panggilan seorang
ayah yang mampu menjatuhkan semua amarahku jika berhadapan dengan beliau. Tubuh
kekarnya bukan untuk membuat orang lain segan, tetapi untuk meringankan beban
pembantu dirumahku jika dimintai tolong untuk mengangkat barang yang berat.
Karena
keluargaku tidak memiliki pembantu laki-laki, dan hanya seorang bodyguard yang
senantiasa mengawal Rama dan Bundaku kemanapun langkah mereka berpijak.
Tajamnya penglihatan Rama semata-mata untuk mengawasi gerak-gerik karyawannya
untuk mengantisipasi calon koruptor sedini mungkin di kesultanan Rama. Kumisnya
seakan melengkapi wajahnya yang bersinar karena seringnya beliau mendekatkan
diri kepada-Nya disaat orang lain tertidur lelap.
Mulai
berat kurasakan betapa tersiksanya untuk melangkah menuju ruang makan dan
berhadapan dengan Rama serta Bunda. Tegakah aku jika aku memperlihatkan
ketidaksiapanku menghadapi soal-soal yang menentukan nasibku kedepan. Tiada
daya dan upaya selain meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.
“Bagaimana
le sekolahmu. Ujianmu wes cedek iki”……. (gimana nak sekolahmu. ujianmu sudah dekat ini)
“Lancar-lancar
saja Ram, tadi disekolah tidak ada masalah. Lagipula pelajarannya hanya
diskusi. Masalah ujian Insyaallah saya siap Ram.”
“Ya
sudah le, kamu belajar saja yang rajin. Rama karo Bundamu mek iso ndunga’no. Ya kan Bun.” ( Rama sama Bunda hanya
bisa mendo’akan)
“Iya le Bunda karo Rama mek iso ndunga’no karo ngetutno sampeyan.
Kabeh keputusan onok neng tanganmu dewe le,“ Jawab Bunda. (Iya nak Bunda sama
Rama hanya bisa mendo’akan sama menuruti kemauan kamu. Semua keputusan ada di
tanganmu sendiri)
“Enjeh Bun, Saya pasti berusaha maksimal agar lulus ujian
dan masuk SMP favorit. Ya sudah Bun, Rama. Ananda belajar dulu.”
Sungguh masalah yang tidak mudah untuk selesai dengan
segera, butuh kerja keras sebelum nantinya aku berjuang sendiri.
Aku merasa kali ini benar-benar sendiri, saat semua sibuk
mempersiapkan ikrar di balik bilik impian mereka yang terkatung-katung supaya
bisa melewati hadangan soal-soal ujian yang tergeletak di depan mata namun
mematikan jika hanya dibiarkan tanpa sebuah tindakan dan pemikiran yang jarang
semua siswa menjawabnya dengan asas palsu.
Terasa berat perjuanganku, namun aku percaya jika mereka
akan dengan mudah melewati ranjau yang tiada orang tahu dimana letaknya tanpa
strategi dan intimidasi terhadap soal-soal percobaan itu yang akan menentukan
nasibku dan teman-temanku kelak.
Senandung puitis selalu menimbulkan statement jika yang
kulakukan merupakan sebuah kekeliruan andaikan hanya monoton dan itu-itu saja. Jangan kalah oleh masalah, orang hebat
tidak dilahirkan melaui kemudahan. Justru mereka dibentuk oleh derita dunia dan
air mata, jika engkau merasa sendiri janganlah engkau pesimis. Tegakkan
kepalamu dan lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Percayalah, jalanmu
semakin dekat.
Maka terjadilah hal yang krusial, apa yang aku pelajari
berbeda jauh dengan ujian kali ini. Aku benar-benar keluar jalur dan nyaris tak
terarah, tiba-tiba sambaran tangan dari seorang guru mendarat di wajahku yang
akhirnya membangunkanku dari mimpi buruk ini dan menyadarkanku bahwa aku masih
dalam keistimewaan sebuah tempat tinggal..
Sungguh aku merasa shock, kali ini aku yang akan bersaksi
atas perkataan Leonardo da Vinci: ‘’Chi
non puo quel che voul, quel che puo voglia”- Siapa yang tak sanggup meraih
apa yang dia inginkan, sebaiknya menginginkan apa yang dia sanggupi.
Aku jelas takkan sanggup menyamai anak Belitong, tapi aku
sanggup untuk melewati ujian ini. Ini hanya sebuah percobaan, dan aku tidak
akan mundur sedikitpun sampai akhirnya aku tersadar pada satu titik dimana
detik ini aku berhadapan dengan Ujian Nasional yang akan menentukan kelayakanku
lulus dari sekolah ini setelah menanam benih ilmu selama kurang lebih enam
tahun lamanya.
Layaknya seekor bunglon yang menangkap mangsa dengan
lidahnya, Ujian ini terasa seperti kegiatan belajar semula. Aku masih belum
yakin jika aku sudah lepas tanggung jawab untuk belajar di sekolah ini.
Tetapi aku tidak akan keluar hanya dengan secarik kertas
dengan bingkai dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan berisikan biodata pribadiku
dan nilai ujian, yang nantinya memberikan pesan secara tidak langsung untuk
melindunginya dengan laminating dan tidak jarang banyak tuduhan bahwa
perdebatan secarik kertas itu karena pemalsuan.
Aku sudah petakan kemana langkahku, kuakui aku memang
orang berada, dan aku mempunyai segalanya. Tapi itu semua milik orang tuaku,
akan jadi apa aku nanti semua tersaji di angan, tangan dan langkahku yang akan
melaksanakan seluruh tujuan studiku
menjejak SMP, berlanjut ke SMA sampai nantinya aku akan kuliah di Jerman dan
kembali ke Bumi Pertiwi tanpa secuilpun campur tangan orang tuaku kecuali restu
mereka.
Orang berada nan berdarah birupun memiliki cita-cita dan
tahu diri bahwa mimpi itu harus ada di benak semua umat manusia, tetapi
bermimpi bukan untuk melahirkan jutaan pemimpi. Melainkan untuk mencetak jutaan
peraih mimpi, yang tidak hanya lahir dari pulau Bangka. Walaupun kebanggaanku
tak terhingga kepada mereka. Tapi aku bukan mereka, aku bukan seorang Lintang,
teman kecil seorang anak yang kini menjadi penulis. Penulis menceriterakan
bahwa Lintang juga paling pintar di kelasnya sehingga mendorong penulis
termotivasi menuntut ilmu hingga meninggalkan jejak di Perancis. Dan tiada
seorangpun dengan mudah melupakannya.
Disini adalah aku, yang akan melanjutkan perjuangan
pendahuluku. Mengisi kemerdekaan dengan pendidikan, bukannya aku tidak ingin
memperdalam ilmu di Negeri sendiri. Tapi gelar sarjanaku sudah dipastikan
produk asli dalam negeri, dan aku tidak akan tinggal diam jika kesempatan untuk
meraih gelar Master of Arts menuntutku diharuskan
bertandang ke Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar